Kamis, 30 Desember 2010

Korban Pendidikan

“susah punya anak perempuan”, kata para ibu “susah punya saudara perempuan, gak cantik lagi”. Kata sebagian teman-teman saya. Dua kalimat di atas merupakan gambaran kehawatiran mereka anak atau saudara perempuan mereka telat kawin, alias mejadi perawan tua. Ini bukanlah tidak beralasan bahkan karena melihat bahwa kebanyakan perempuan di desa saya kawin di usia dini (14, 15, 16 th, 18, udah agak telat apalagi yang 20 keatas.), semua ini sudah seperti menjadi kebiasaan yang sudah mendarah daging di mata para ibu. Di sini saya melihat bahwa perempuan di desa saya itu dilahirkan kemudian dirawat sampai dewasa setelah itu menunggu jodohnya datang.
Tak hanya itu mereka punya Lokalisasi penungguan jodoh dan itu sangat berfariasi, mulai dari dapur, ngurung di rumah ada juga yang di pesantren. Menurut saya pesantren bagi para ibu tidak hanya menjadi sarana belajar bahkan tempat untuk menunggu jodoh menjemput tapi lebih dominan sebagaii lokalisasi penungguan jodoh. Ini terbukti bahwa orientasi belajar mereka “bukan lulus belajar” bahkan “jodoh menjemput pulang”.
Di sinilah kemandekan pendidikan para perempuan di desa saya, gara-gara inilah dunia pendidikan tak terlintas lagi di benak mereka, masih hangat rasanya dan sepertinya akan terus hangat semboyan usang yang sebenarnya sudah tidak pantas diterapkan di masa sekarang “ujung-ujungnya perempuan pasti di dapur dan di kasur”. Karena itu, sebagai orang tua kita harus paham bahwa perjuangan islam sehingga menjadi seperti sekarang tidak lepas dari peran seorang perempuan, coba seandainya tidak ada sosok seperti Siti Khadijah, Ummu Aiman, Halimatu al-Sa’diyah, Sy. AĆ­syah dll, mungkin dengan begitu desa kita akan menjadi desa yang kaya akan pendidikan, pengetahuan dan menjadi desa yang sangat menjunjung pentingnya pendidikan tanpa adanya perbedaan...